Rabu, 8 Mei, 2024

Ikuti Tren Dunia, Kementerian ESDM Fokus Garap Proyek EBT

MONITOR, Jakarta – Beberapa tahun terakhir, dunia mulai beralih menggunakan sumber energi terbarukan (EBT) dibandingkan dengan energi fosil. Hal ini diungkapkan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, saat menjadi salah salah satu pembicara pada acara Learning Innovation Summit di Jakarta, Rabu (14/3).

Seiring dengan tren diatas, Arcandra mengatakan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM mulai tampak serius dalam menggarap proyek EBT di Indonesia. Langkah yang ditempuhnya, kata Arcandra, dengan menargetkan porsi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik pada tahun 2025 mencapai 23%.

"Energi terbarukan menjadi sumber energi yang tumbuh paling cepat di dunia, dengan konsumsi meningkat rata-rata 2,3% per tahun antara tahun 2015, Indonesia bertekad untuk meningkatkan bauran energinya menjadi 23 persen pada tahun 2025," tutur Arcandra.

Berdasarkan data dari International Energy Outlook 2017, Arcandra mengatakan jika dibandingkan dengan energi fosil seperti batubara, konsumsi batubara sejak tahun 2000-an hingga saat ini tidak mengalami peningkatan yang signifikan, justru semakin lama akan digantikan oleh sumber energi nonfosil lainnya seperti gas bumi, dan energi terbarukan serta tenaga nuklir (khususnya di China) untuk pembangkit tenaga listrik.

- Advertisement -

"Sebagai ilustrasi, China negara yang selama ini konsumsi batubaranya terbesar di dunia, namun penggunaan batubara diproyeksikan akan menurun sebesar 0,6% / tahun dari tahun 2015 sampai 2040," jelasnya.

Lebih jauh Arcandra mengatakan, Indonesia sebagai negara berkembang terus menelurkan kebijakan yang mendukung iklim investasi di sektor ESDM.

Selain itu, pemerintah akan memprioritaskan penggunaan sumber daya EBT sehingga diharapkan dapat memenuhi target bauran energi serta mengurangi emisi gas rumah kaca.

"Indonesia bertekad untuk meningkatkan bauran energinya menjadi 23 persen pada tahun 2025. Sampai tahun 2017, porsi EBT dalam bauran energi masih 8,43%, ada celah sekitar 15%. Kesenjangan ini harus diisi melalui reformasi kebijakan untuk memberdayakan lebih banyak EBT dalam skala ekonomi dan harga yang terjangkau," jelasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER