Jumat, 29 Maret, 2024

Soni Sumarsono: Arah Otonomi Daerah di Era Nawacita

Esensi otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah pemberian pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Sejauh mana implementasi otonomi daerah selama ini?

 

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono, mengatakan, UU tentang kebijakan otonomi daerah pada prinsipnya diarahkan dalam tiga hal. Pertama, yang paling prinsip, adalah untuk meningkatkan pelayanan publik untuk masyarakat dengan mudah, murah, dan efisien. Menurutnya, melalui pelayanan publik seperti, kesehatan, pendidikan, dan perumahan rakyat, maka standar minimum masyarakat akan terpenuhi.

“Partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang akan menciptakan masyarakat yang peduli terhadap pembangunan di daerahnya. Pemerintah bertugas untuk menyiapkan kebutuhan tersebut,” kata Sumarsono kepada Majalah Keuangan Negara akhir Juni 2016.

Dengan demikian, arah otonomi daerah sesungguhnya adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. “Dengan regulasi yang mendukung, maka iklim investasi akan sehat dan menjadi daya saing kuat bagi daerah dalam membangun daerahnya,” tambah pejabat yang akrab dipanggil Pak Soni ini.

- Advertisement -

Kedua, arah otonomi daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Memang demikian, di era demokratisasi sekarang ini partisipasi masyarakat sangat penting dalam mendukung pembangunan daerah. Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kebijakan pemerintah diwujudkan melalui forum seperti Musyarawah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dengan pemikiran bahwa pola pembangunan saat ini dilandasi oleh prinsip bottom up dan berbasis kebutuhan masyarakat. Di dalam Musrenbang itulah, unsur-unsur masyarakat dapat mengusulkan perencanaan pembangunan yang berkualitas dan tepat sasaran.

Ketiga, peningkatan daya saing daerah. Sumarsono menegaskan bahwa otonomi daerah juga menjadi peluang atau kesempatan bagi pemerintah daerah untuk berkompetisi dalam membangun daerahnya. Sumarsono berharap, otonomi daerah dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak kinerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Baik itu melalui pelayanan publik, partisipasi dan daya saing.

Di situlah muncul kreasi dan inovasi dalam rangka meningkatkan daya saing. Baik antardaerah, mau pun dengan daerah lain di luar negeri. “Hal ini menunjukkan gejala positif kebijakan otonomi dareah,” tukas Pria kelahiran Tulungagung, 22 Februari 1959 ini.

 

Implementasi

Dalam lima terakhir, implementasi otonomi daerah ditandai dengan tiga ciri. Pertama, adanya perubahan regulasi dari UU No. 32 tahun 2004 menjadi UU No. 23 tahun 2014. Perubahan ini cukup signifikan karena dapat mengisi kekosongan dan kekurangan dari apa yang dilakukan pada UU No. 32 tahun 2004. Termasuk di dalamnya proses pemberian sanksi apabila daerah bawahan tidak mentaati kebijakan yang di atasnya.

Kedua, ditandai dengan pengalihan. Urusan-urusan pemerintahan yang semula ditangani oleh Pemerintah Kabupaten, saat ini ditangani Pemerintah Provinsi. Misalnya pendidikan tingkat SMA atau pertambangan yang tadinya ditangani oleh kabupaten sekarang menjadi kewenangan provinsi. Jadi, regulasi ini mengubah struktur otonomi daerah menjadi signifikan dari sisi regulasi dan kebijakan otonomi daerah, yaitu ke arah kebijakan yang sesuai dengan Nawacita Presiden Jokowi. Perubahan yang mengarahkan untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa dan daerah.

Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran. Pemerintah memperkuat pembangunan dari bawah (desa dan daerah) seperti dengan mengalokasikan dana desa dengan anggaran yang luar biasa. Hampir rata-rata setiap desa mendapatkan dana desa kurang lebih sampai Rp 500 juta dengan anggaran di APBN hampir Rp 47 triliun dan akan terus meningkat.

Sumarsono menilai hal tersebut adalah sebuah paradigma baru untuk memperkuat desa-desa. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan eksplisit menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, tidak lagi menjadi objek seperti sebelum UU Desa dikeluarkan. Kementerian Dalam Negeri pun berharap dengan transfer dari pusat ke daerah yang lebih lebih besar dapat menjadi stimulus bagi kemajuan daerah.

“Artinya, bahwa pemerintah pusat makin percaya ke daerah. Sehingga dapat diharapkan  terjadi kapitalisasi, sirkulasi uang itu ada di daerah,” jelas Sumarsono yang juga Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.

 

Paradigma Baru Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah yang didukung oleh alokasi anggaran transfer ke daerah yang terus meningkat ini diharapkan dapat menjangkau seluruh pojok daerah yang selama ini kurang tersentuh. Sebab, selama ini banyak daerah perbatasan atau kepulauan terpinggir menghadapi persoalan pelik berupa buruknya infrastruktur, kondisi geografis, dan kesulitan transportasi.

Dewasa ini, upaya mewujudkan otonomi daerah yang berkualitas ditandai dengan perubahan paradigma yang meliputi perubahan kelembagaan dan personil di daerah. Sumarsono mengakui, paradigma lama yang bertumpu pada “Besar Struktur, Miskin Fungsi” menjadi penghambat bagi terwujudnya otonomi daerah yang sehat. Maka, paradigma tersebut kemudian diubah menjadi “Tepat Struktur,Tepat Fungsi” yang diyakini akan membawa implikasi efisiensi.

Sumarsono menyontohkan misalnya adanya penyesuaian yang lebih ramping dan proposional antara belanja modal dibandingkan belanja operasional. Seperti diketahui, bahwa perbandingan antara belanja operasi dan belanja modal pada struktur APBD dewasa ini terlihat timpang dan belum proposional. Berdasarkan analisis Pusat Kajian Keuangan Negara, rata-rata alokasi belanja operasional di dalam APBD tahun 2014 adalah sebesar 70 persen, lebih besar dibandingkan alokasi belanja modal dengan rata-rata 30 persen.

Karena itulah, Kementerian Dalam Negeri mendorong agar pemerintah daerah untuk memperbesar alokasi belanja investasi atau belanja modal. “Dengan alokasi belanja modal yang lebih besar yang tidak terserap birokrasi, rakyat lebih bisa menikmat hasilnya. Itu prinsipnya,” tegas Sumarsono. Maka, birokrasi harus ditampilkan dengan perubahan “Tepat Struktur, Tepat Fungsi” dengan diikuti kompetensi SDM, ada standar kompetensi aparat sipil kerakyatan yang menduduki jabatan tersebut. Sumarsono optimis dengan menata ulang organisasi pemerintah daerah dan struktur estetika sebagai pendekatan paradigma akan membawa kinerja pemerintah daerah yang lebih baik dalam membangun daerahnya.

Perubahan paradigma tata kelola pemerintahan daerah juga didukung oleh regulasi yang tepat. Saat ini, pemerintah menyiapkan standar aturan sekitar 22 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai acuan implementasi turunan dan penjabaran dari UU No. 23 tahun 2014.

Ada beberapa poin di dalam PP tersebut, pertama di dalam PP ada dua PP lain, yaitu PP mengenai PP Penataan Struktur Organisasi. Kedua, perubahan struktur mengenai standardisasi SDM yang mengisi struktur. Ini sangat  signifikan terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi. Ketiga adalah kebijakan, dari sisi kelembagaan juga ada kebijakan pendekatan pengelolaan anggaran. Jadi, perubahan paradigmanya setiap fungsi itu yang dulu mengikuti “money follow function” menjadi “money follow program.” Karena itulah mulai tahun 2017 pemerintah daerah harus fokuskan pada program khusus, sementara yang lainnya mengikuti program utama.

Money follow program lebih bisa menjamin program-program dan lebih punya daya dongkrak,” Sumarsono menjelaskan.

 

Inovasi  Daerah

Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Ermaya Suradinata menyatakan perlunya inovasi dalam pembangunan daerah. Hal itu ia ungkapkan pada seminar nasional dengan tema “Inovasi Pemerintahan Daerah Pada Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” di Griya Agung, Palembang, Selasa (19/7/2016).

“Inovasi sangat diperlukan dalam membangun termasuk di daerah supaya tepat sasaran dan efisiensi. Inovasi memang sebagai modal dalam membangun agar dana yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin,” kata Ermaya.  

Menurut mantan Gubernur Lemhanas iru, dengan inovasi atau terobosan maka semua pembangunan yang dilaksanakan akan semakin berkembang sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Dengan adanya inovasi maka tanpa modal daerah yang besar pembangunan bisa dilaksanakan secara berkelanjutan.

Kebijakan tonomi daerah memang dapat menjadi stimulus bagi munculnya kreatifitas dan inovasi daerah. Otonomi daerah juga memberikan landasan bagi penguatan kemandirian daerah. Implikasinya, pemerintah daerah mesti berjuang dan bekerja keras agar rasio ketergantungan kepada pemerintah pusat lamban laun menjadi berkurang.

Esensi inovasi itu sendiri adalah sebuah proses pembaruan atau perbaikan kebijakan pemerintah daerah yang dapat mempercepat pembangunan daerahnya, termasuk dalam hal pelayanan publik. Lebih lanjut, inovasi daerah juga dapat mendukung kemajuan-kemajuan daerah dan menjadi jawaban atas permasalahan khusus di daerah. Lahirnya UU No. 23 tahun 2014 menjamin pemerintah daerah dalam melakukan inovasi, selama hal tersebut dilaporkan kepada Kementerian Dalam Negeri. “Dalam waktu dekat kita akan terbitkan PP mengenai inovasi daerah yang bisa menjadi dan mendorong untuk kreaktif dan mencari terobosan percepatan-percepatannya,”terang Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono.

Meski demikian, implementasi inovasi memiliki tantangan tersendiri terutama munculnya kekhawatiran banyak daerah untuk mencairkan anggaran dalam APBD guna pembiayaan program dan kegiatan daerah, yang memicu kelambanan penyerapan anggaran. Menurut Pengajar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Riawan Tjandra, kekhawatiran tersebut semestinya tidak terjadi apabila pemerintah daerah memahami dengan tepat UU No. 23 tahun 2014.

Pasalnya, dengan telah berlakunya UU No 23/2014 jis UU No 2/2015 dan UU No 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), di satu sisi telah terjadi perluasan wilayah administrasi dalam kebijakan penganggaran dan di sisi lain terjadi penyempitan wilayah pidana korupsi.

Adapun pengaturan perihal inovasi daerah pada Bab XXI Pasal 386-390 UU Pemda dan diskresi pada Bab VI Pasal 22-32 UU AP telah mengontrol secara ketat kriminalisasi kebijakan pemerintah daerah, termasuk dalam pencairan anggaran daerah. Kelahiran ketentuan-ketentuan tersebut sejatinya ingin mengonstruksi garis demarkasi baru wilayah administrasi kebijakan dengan wilayah pidana korupsi yang selama ini dianggap kabur.

Lebih lanjut, di dalam Pasal 386 UU Pemda dengan tegas menyatakan, dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi. Inovasi merupakan semua bentuk pembaruan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus berpedoman pada sejumlah prinsip penting, seperti peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, dan sejenisnya.

“Bahkan, Pasal 389 UU Pemda menegaskan, dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan pemda dan inovasi tersebut tak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tak dapat dipidana. Namun, pelaksanaan inovasi itu mengharuskan dipenuhinya persyaratan prosedur dan substansi yang cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan inovasi daerah,” Riawan Tjandra dalam artikelnya berjudul Inovasi, Diskresi dan Korupsi (Kompas, 22 September 2015).

UU Administrasi Pemerintahan juga mengatur bahwa pejabat pemerintah diberi kewenangan menggunakan diskresi dalam pelaksanaan kebijakan. Namun, penggunaan wewenang diskresi tersebut harus didasarkan atas tujuan yang bersifat limitatif, sebagaimana diatur pada Pasal 22 Ayat (2) UU AP, antara lain, melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan.

Berdasarkan asas tersebut, sejauh norma hukum inovasi daerah dan diskresi diterapkan dalam koridor tujuan pembentukan norma hukum tersebut untuk memperlancar penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik kepada rakyat, dapat digunakan sebagai rujukan bagi pemda untuk tak perlu khawatir kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi.

Senada dengan itu, Kementerian Dalam Negeri menyatakan dalam membuat diskresi harus melaporkan kepada Kemendagri. Memang ada batasan-batasan dalam mengembangkan inovasi daerah, yaitu mana yang bisa dilaksanakan dan yang tidak boleh dilaksanakan. “Secara umum, inovasi itu diperbolehkan untuk satu pelayanan publik yang lebih cepat dan murah. Dengan otonomi daerah, daerah bisa improvisasi untuk memberikan pelayanan terbaik untuk daerah secara kreatif dan inovatif,” jelas Sumarsono. (*)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER