Sabtu, 20 April, 2024

Antara Pemberian Blok Mahakam dan Penugasan BBM

Hadiah tahun baru 2018 yang sangat berarti bagi negeri ini adalah penyerahan pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie kepada Pertamina terhitung sejak 1 Januari 2018. Tidak mengherankan kalau Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dan Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam harus menggelar prosesi serah terima di Club House Total, Balikpapan, yang waktunya bersamaan dengan perayaakan pergantian tahun baru 2018.

Kegembiraan Amien Sunaryadi dan Syamsu Alam memang beralasan, lantaran pengembalian Blok Mahakam ke pangkuan Ibu Pertiwi merupakan proses panjang yang berliku, bahkan hampir saja gagal. Pada saat pemerintahan SBY, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik hampir saja memenuhi tuntutan Total E&P Indonesie untuk memperpanjang kontrak 20 tahun lagi hingga berakhir 2038. Berbeda dengan Pemerintahan sebelumnya, Pemerintahan Joko Widodo sejak awal sudah bertekad untuk mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam, sebagai bagian dari Program Kemandirian Energi.

Beberapa hari sebelum penyerahan Blok Mahakam ke Pertamina, Menteri ESDM Ignasius Jonan memutuskan untuk tidak menaikkan tarif listrik dan BBM penugasan, terdiri: premium, bio solar, dan minyak tanah, hingga akhir triwulan pertama 2018. Pertimbangan utama keputusan itu adalah untuk memenuhi rasa keadilan bagi rakyat sebagai konsumen ditengah daya beli yang sedang melemah. Di balik keputusan itu memang ada trade off antara kepentingan Pertamina dan PLN dengan kepentingan rakyat. Pemerintah tampaknya mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan rakyat ketimbang kepentingan PLN dan Pertamina.

Pertanyaannya:apakah keputusan Pemerintah tidak menaikkan harga BBM penugasan akan merugikan bagi Pertamina? Direktur Pertamina Elia Massa menglaim bahwa dengan harga acuan Indonesian Crude Price (ICP) pada kisaran US$ 59 per barrel, potensi Pertamina kehilangan keuntungan (opportunity loss) bisa mencapai sekitar Rp. 19 triliun. Kalau memperhitungkan potensi opportunity loss itu secara parsial, Pertamina memang harus menanggung pembengkaan opportunity lost akibat harga BBM penugasan tidak dinaikkan.

- Advertisement -

Namun, jika Pertamina memperhitungkannya secara komprehensif, tidak hanya penugasan BBM saja, tetapi juga memperhitungkan potensi keuntungan atas pemberian pengelolaan sejumlah Blok Migas di hulu, utamanya Blok Mahakam, potensi kehilangan keuntungan itu hampir tidak berarti sama sekali. Blok Mahakam masih menyisakan cadangan sebesar 57 juta barel minyak, 45 juta barel kondensat, dan 4,9 trillion cubic feet (tcf gas). Menurut perhitungan SKK Migas, dengan pemberian asset non-cash Blok Mahakam, asset Pertamina akan betambah kurang-lebih  20%, yakni sebesar US$ 9,43 miliar atau sekitar Rp. 122,59 triliun. Adanya tambahan asset sebesar itu, total asset Pertamina kini menjadi US$ 54,95 miliar atau sekitar Rp. 714,35 triliun.

Dengan tambahan asset sebesar itu, maka akan meningkatkan modal sendiri (equity) Pertamina. Peningkatan equity sebesar tambahan asset itu akan meningkatkan financial leverage Pertamina hingga 3 kali lipat. Peningkatan financial leverage itu akan semakin meningkatkan kredibilitas Pertamina dalam memperoleh dana segar (fresh money) dari pihak ketiga, termasuk penerbitan obligasi, untuk capital expenditure (Capex) dan operational expenditure (Opex) yang dibutuhkan, baik untuk membiayai operasional Blok Mahakam, maupun Blok Migas lainnya.
Selain itu, dengan share down 39% saham Blok Mahakam,  Pertamina akan memeproleh  cash inflow dalam bentuk fresh money sebesar US$ 3,68 (39% X US$ 9,43 miliar) atau Rp. 47,84 triliun. Berdasarkan produksi sebelumnya, potensi pendapatan netto, setelah dikurangi cost recovery, selama tahun 2018 diprediksikan akan mencapai sebesar US$ 317 juta atau sekitar Rp. 4,12 triliun.

Dengan pemberian pengelolaan Blok Mahakam, Pertamina memperoleh tambahan asset  sebesar Rp. 122,59 triliun, fresh money sebesar Rp. 47,84 triliun, dan pendapatan netto per tahun sebesar Rp. 4,12 triliun. Potensi kerugian Pertamina, akibat tidak dinaikkan harga BBM penugasan, sebesar Rp. 19 triliun sesungguhnya sangat tidak sebanding dengan tambahan asset dan pendapatan, yang diterima Pertamina.  Bahkan, jika ditambahakan biaya penugasan BBM Satu Harga sebesar Rp. 800 miliar per tahun,  potensi kerugian sebagai opportunity loss masih sangat kecil. Selain itu, meskipun harga BBM penugasan tidak dinaikkan, komponen biaya penugasan dan margin Pertamina juga sudah dimasukkan sebagai komponen biaya dalam penetapan harga BBM Penugasan
Tidak ada alasan bagi Pertamina untuk selalu mengeluhkan beban biaya penugasan BBM yang harus ditanggung Pertamina, baik akibat kebijakan tidak menaikkan harga BBM penugasan, maupun kebijakan BBM Satu Harga. Keluhan-keluhan tersebut mengindikasikan seolah Pertamina merasa keberatan dalam menjalankan penugasan Pemerintah. Kalau benar Pertamina keberatan menjalankan penugasan Pemerintah, pemegang 100% Saham Pertamina, lalu siapa lagi yang harus menjalankan penugasan tersebut?.

Dengan tambahan non-cash asset, cash flow dan pendapatan dari Blok Mahakam, Pertamina tidak sepantasnya selalu mengeluh atas beban penugasan Pemerintah, bahkan Pertamina harus berterima kasih kepada Pemerintah atas pemberian pengelolaan Blok Mahakam. Pertamina juga sudah seharusnya bertambah peka dan peduli terhadap rasa keadilan rakyat, dengan mendukung keputusan Pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM penugasan hingga triwulan 2018, bahkan sepanjang tahun 2018. 

Pertamina tidak perlu khawatir mengalami opportunity loss dalam menjalankan penugasan Pemerintah, baik BBM Penugasan, maupun BBM Satu Harga. Pasalnya, Pemerintah pasti akan memberikan kompensasi dalam bentuk non-cash asset dari ladang Migas lainnya, yang kontraknya akan berakhir. Salah satunya adalah Blok terbesar Rokan, dikelola oleh Chevron Pacific Indonesia, yang kontraknya akan berkahir pada tahun 2021.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER