Selasa, 19 Maret, 2024

Pengamat: Pemerintah Tak Perlu Naikkan Harga BBM hingga Akhir 2019

MONITOR, Jakarta – Pengamat Ekonomi Energi Fahmy Radhi mengatakan, Pemerintah dapat menunda kenaikan harga BBM hingga akhir 2019. Menurutnya, keputusan tersebut dapat diambil lantaran Pertamina masih memiliki cash inflow untuk menutupi kerugian.

"Dengan tidak dinaikkan harga BBM hingga akhir 2019, Pemerintah berkomitmen, tidak hanya mendahulukan kepentingan bangsa yang lebih besar, tetapi juga tidak membiarkan begitu saja Pertamina menanggung beban kerugian keuangan," kata Fahmy dalam keterangan pers yang diterima, Selasa (23/1).

Lebih lanjut Fahmy menjelaskan, kondisi harga minyak dunia saat ini cendrung tinggi, dimana pada 16 Januari saja, harga minyak dunia masih berada di level 63,61 US dollar per barel. Pada titik tersebut, Fahmy mengakui tingginya harga minyak dunia berpotensi menambah beban Pertamina dalam mendistribusikan BBM Penugasan. Pasalnya, Pemerintah telah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM Penugasan hingga Maret 2018.

Kendati demikian, Fahmy menegaskan, kekhawatiran tersebut telah teratasi oleh beberapa kompensasi yang diberikan Pemerintah kepada Pertamina, diantaranya yakni penetapan harga BBM di atas harga keekonomian dan memberikan hak kelola Blok Mahakam kepada Pertamina terhitung sejak 1 Januari 2018.

- Advertisement -

"Keputusan Pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM, selain untuk menekan laju inflasi, juga untuk meringankan beban rakyat sebagai konsumen, yang daya belinya sedang melemah.  Namun, Pemerintah sesunguhnya tidak membiarkan Pertamina begitu saja dalam menanggung potensi opportunity loss sebagai dampak keputusan Pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM," tegasnya. 

"Dalam formula penetapan harga jual BBM, Pemreintah sebenarnya sudah memasukan komponen biaya penugasan sekitar Rp. 550 per liter dan memberikan margin kepada Pertamina sekitar Rp. 250 per liter," tambahnya.

Penetapan harga BBM di Atas Harga Keekonomian 

Menurut Fahmy, saat penetapan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina masih memiliki keuntungan yang untuk menutupi potensi kerugian akibat kenaikan harga minyak dunia.

Ia merincikan, ketika harga acuan Indonesian Crude Price (ICP) merosot pada kisaran 38 US dollar per barel pada 2016 lalu, Pemerintah memutuskan untuk tidak menurunkan harga jual BBM, sehingga Pertamina meraup keuntungan sekitar Rp 40 triliun. Jika nilai tersebut dikurangi kerugian penjualan harga BBM pada 2017 sebesar Rp 19 triliun, maka Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp 21 triliun.

Pemberian Hak Pengelolaan Blok Mahakam

Diluar wind fall, jelas Fahmy, pemberian hak penglolaan Blok Mahakam non-cash asset juga menambah asset Pertamina sebesar 9,43 miliar dollar, atau sekitar Rp 122,59 triliun. Tambahan asset tersebut, menaikkan total asset Pertamina menjadi 54,95 miliar dollar, atau sekitar Rp 714 triliun.

Selain itu, dengan keputusan Pemerintah menetapkan share down 39 persen saham Blok Mahakam, Pertamina akan memperoleh cash inflow dalam bentuk fresh money sekitar 3,68 miliar dolar, atau sebesar Rp 47,84 triliun. "Berdasarkan data produksi sebelumnya, potensi pendapatan netto, setelah dikurangi cost recovery, selama tahun 2018 diprediksikan akan mencapai sebesar 217 juta dollar, atau sekitar Rp 4,12 triliun," jelas Fahmy.

Dengan kedua faktor tersebut, kata Fahmy, total cash inflow Pertamina pada 2016-2018 sebesar Rp 91.96 triliun. Jumlah tersebut dinilai masih sangat mencukupi untuk menutupi potensi oppurtunity lost akibat tidak dinaikkan harga BBM pada 2017-2018.

"Bahkan sepanjang 2019 tidak perlu ada penaikan harga BBM, lantaran total cash inflow itu masih sangat memadai untuk menutup potensi oppurtunity lost Pertamina hingga akhir 2019," katanya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER